POSTING - 03 Agustus 2021 |
Hikmah Al-Qur’an diturunkan secara BertahapBerbicara Al-Qur’an sebagai mukjizat paling mulia dan paling sempurna, maka tidak lepas dari beberapa kitab suci yang diturunkan sebelumnya. Dengan Al-Qur’an, umat Nabi Muhammad saw memiliki pedoman dan referensi yang sangat valid, tanpa perlu diragukan kualitasnya, sangat kredibel dan begitu sempurna. Begitu juga dengan umat-umat sebelumnya. Jika Nabi Musa as menerima Kitab Taurat sebagai hidayah dan petunjuk bagi umatnya, yaitu Bani Israil, Nabi Dawud as menerima kitab Zabur, dan Nabi Isa as menerima kitab Injil, maka Nabi Muhammad as menerima Al-Qur’an sebagai hidayah dan petunjuk bagi umatnya. Kitab Taurat, Zabur dan Injil hanya menjadi kitab suci bagi umat tertentu, dan diturunkan pada waktu tertentu pula. Berbeda dengan Al-Qur’an, selain sebagai kitab suci untuk membenarkan kitab-kitab sebelumnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan ushûluddîn seperti iman kepada Allah dan pada hari akhir, Al-Qur’an juga menghapus (naskh) sebagian syariat yang sudah menjadi ketetapan sebelum Al-Qur’an, namun tidak sesuai dengan keadaan umat Nabi Muhammad saw. Allah saw berfirman: وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ الْحَقِّ، لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا (المائدة: 48) Artinya, “Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS al-Ma’idah: 48). Sayyid Thantawi dalam Tafsîrul Wasîth memberikan pandangan dan argumentasi di balik ayat di atas, bahwa Allah menjadikan Al-Qur’an dan menurunkannya pada umat Islam sekaligus sebagai syariat paling akhir, juga sebagai penutup bagi kitab-kitab yang lain. Allah menjadikan Al-Qur’an sebagai kitab yang paling kongkrit, kredibel, universal, paling agung dan paling sempurna. Kesempurnaan dan kelebihan Al-Qur’an ketika dibanding dengan kitab sebelumnya bisa dilihat dari isi dan kandungan yang terdapat di dalamnya. Al-Qur’an mengombinasikan semua amal kebaikan yang terdapat dalam kitab sebelumnya. Tidak hanya itu, Allah menambah kebaikan dalam Al-Qur’an yang tidak bisa ditemukan dalam kitab sebelumnya. Dengan inilah, Allah menjadikan kitab suci Al-Qur’an sebagai mukjizat paling sempurna, sangat kredibel, dan mendapatkan penjagaan langsung dari Allah swt atas segala kemungkinan untuk merubahnya. (Sayyid Muhammad Thanthawi, Tafsîrul Wasith, [Bairut, Dârul Kutub al-‘Ilmiyyah: 2009], juz I, halaman 1286). Al-Qur’an Sebagai Mukjizat yang Kekal Sayyid Muhammad dalam kitab monumentalnya, Mâdzâ fî Sya’bân menjelaskan: وَمِنْ خَصَائِصِ الْقُرْاَنِ أَنَّهُ مُعْجِزَةٌ بَاقِيَةٌ مَتْلُوَةٌ فِي كُلِّ مَكَانٍ مَع تَكَفُّلِ اللهِ بِحِفْظِهِ بِخِلَافِ مُعْجِزَاتِ الْأَنْبِيَاءِ فَاِنَّهَا اِنْقَضَتْ بِانْقَضَاءِ أَوْقَاتِهَا Artinya, “Termasuk dari keistimewaan Al-Qur’an, sesungguhnya Al-Qur’an merupakan mukjizat yang tetap, dibaca di setiap tempat, serta adanya jaminan Allah untuk menjaganya. Berbeda dengan mukjizat para nabi yang lain, maka sesungguhnya (mukjizat selain Al-Qur’an) akan hilang dengan hilang waktunya.” (Sayyid Muhammad bin ‘Alawi bin ‘Abbas al-Maliki al-Maki al-Husaini, Mâdzâ fî Sya’bân, halaman 48). Menurut Sayyid Muhammad, keberadaan Al-Qur’an sampai saat ini murni sebagai mukjizat yang terus berkelanjutan, dan hanya mukjizat ini pula yang akan terus dibaca di setiap tempat, dijadikan sumber hidayah, dan tidak akan pernah berubah lafal, makna, dan kandungannya. Semua ini tidak lain disebabkan Allah sendiri yang menjaganya. Berbeda dengan kitab suci sebelumnya. Saat ini, kitab itu hanyalah sebuah cerita, tidak lagi menjadi sumber hidayah, tidak kredibel, tidak pula menjadi referensi yang bisa dipertanggungjawabkan, semua itu disebabkan hilangnya ruh mukjizat di dalamnya dan hanya memiliki nilai mukjizat di waktu tertentu, yaitu pada masa kenabian Nabi yang menerimanya. Akibatnya, penerus agama yang menjadikannya sebagai pedoman, bisa dengan gampang mengubah makna dan kandungan di dalamnya sesuai dengan keinginan mereka masing-masing. Perbedaan Al-Qur’an dengan Kitab Suci Sebelumnya Ada beberapa perbedaan antara Al-Qur’an dan kitab suci sebelumnya, yaitu Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, sedangkan kitab sebelumnya Allah turunkan secara langsung satu paket. Dalam Al-Qur’an Allah menegaskan: وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَوْلاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلاً Artinya, “Dan orang-orang kafir berkata, ‘Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?’ Demikianlah, agar Kami memperteguh hatimu (Muhammad) dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (berangsur-angsur, perlahan dan benar).” (QS al-Furqan: 32). Ulama ahli tafsir sepakat bahwa Al-Qur’an diturunkan satu kali secara keseluruhan dari Lauhil Mahfûdz ke langit dunia. Kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad saw oleh Malaikat Jibril as secara berangsur-angsur, perlahan, tidak langsung satu paket. Al-Qur’an diturunkan secara berangsur sesuai kebutuhan dan peristiwa yang dialami umat. Semua itu terjadi dan diterima oleh Rasulullah saw selama 23 tahun. (Thanthawi, Tafsîrul Wasîth, juz I, halaman 4545). Namun, dari penjelasan di atas timbul pertanyaan mengapa Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw secara berangsur, bahkan sampai 23 tiga tahun? Sedangkan kitab sebelumnya diturunkan secara langsung, sekali turun. Apa hikmah di balik peristiwa ini? Hikmah Al-Qur’an diturunkan secara Bertahap Sulthanul Auliya’ Syekh ‘Abdul Qadir bin Musa bin Abdullah al-Jilani (470-561 H) dalam kitabnya, al-Ghunyah li Thâlibi Tharâqil Haqq berpendapat, dibandingkan dengan kitab-kitab sebelumnya yang diturunkan secara langsung, Al-Qur’an yang diturunkan secara bertahap menjadi kitab yang terbaik. Syekh Abdul Qadir mengatakan: أَنَّ اللهَ أَنْزَلَ الْكِتَابَ جُمْلَةً وَاحِدَةً وَأَنْزَلَ الْفُرْقَانَ مُتَفَرِّقًا. فَقِيْلَ أَيُّهُمَا أَحْسَنُ نُزُوْلًا؟ اَلْقُرْأَنُ أَحْسَنُ Artinya, “Sungguh, Allah menurunkan Kitab (sebelum Al-Qur’an) satu kali secara keseluruhan, dan menurunkan Al-Furqan (Al-Qur’an) secara terpisah. Maka, jika ditanyakan: di mana yang lebih baik turunnya? (Maka jawabannya) Al-Qur’an lebih baik.” Menurut Syekh Abdul Qadir, diturunkannya Al-Qur’an secara terpisah dan waktu yang berbeda lebih baik daripada diturunkannya Kitab sebelumnya secara keseluruhan dengan satu waktu. Kenapa bisa demikian? Syekh Abdul Qadir melanjutkan: لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى لَمَّا أَنْزَلَ التَّوْرَاةَ جُمْلَةً وَاحِدَةُ فَقَبَلَهَا بَنُوْ اِسْرَائِيْلَ، فَعَمِلُوْا بِهَا قَلِيْلًا، فَثَقُلَتْ عَلَيْهِمْ تِلْكَ الْأَوَامِرُ وَالنَّوَاهِي فِي التَّوْرَاةِ. فَقَالُوْا سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا Artinya, “Karena sesungguhnya, ketika Allah ta’ala menurunkan Taurat secara langsung, maka Bani Israil menerimanya, kemudian sedikit mengamalkannya, dan sangat berat bagi mereka (mengerjakan) semua perintah dan larangan yang ada dalamnya. Kemudian mereka berkata, ‘Kami mendengarkan tetapi kami tidak menaati’.” Ternyata, diturunkannya Kitab suci secara langsung memberikan tantangan emosional yang sangat berat bagi kaum Bani Israil. Bahkan, tantangan yang mereka terima justru tidak membuat mereka berubah dan mengikuti apa yang diperintahkan dalam kitab suci. Justru, mereka hanya mendengarkan isi dan kandungan yang terdapat di dalamnya, namun sama sekali tidak mereka taati kecuali sedikit. Ibaratnya, Taurat yang mereka terima tidak lebih dari pengingat biasa, yang isinya boleh dilakukan sesuai keinginan mereka, larangannya boleh ditinggalkan sesuai keinginannya. Padahal, semua perintah dan larangan yang terdapat di dalamnya harus mereka lakukan dan tinggalkan secara menyeluruh, tanpa memilah dan memilih. وَأَمَّا الْفُرْقَانُ فَأَنْزَلَهُ اللهُ عَلَى التَّدْرِيْجِ مُتَفَرِّقًا، فَأَوَّلُ مَا أَمَرَ اللهُ المُؤْمِنِيْنَ بِقَوْلِهِ: لَااِلَهَ اِلَّا الله مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله وَضَمِنَ لَهُمْ اِذَا قَالُوْهَا الْجَنَّةَ فَسَمِعُوْا وَأَطَاعُوْا، ثُمَّ أَمَرَهُمْ بِاِقَامَةِ صَلَاتَيْنِ، رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ غُرُوْبِهَا، ثُمَّ أَمَرَهُمْ بِالصَّلَاةِ الْخَمْسِ Artinya, “Sedangkan Al-Qur’an, Allah menurunkannya secara berangsur-angsur dan terpisah, maka hal pertama yang Allah perintahkan kepada orang mukmin adalah perintah mengucapkan lâ ilâha illallâhu muhammadur rasûlullâh dan memberikan jaminan surga kepada mereka bila mengucapkannya. Karenanya mereka mendengarkan dan menaatinya. Kemudian Allah memerintahkan mereka dengan mengerjakan dua kali shalat, dua rakaat sebelum terbitnya matahari dan dua rakaat setelah terbenamnya matahari, kemudian memerintahkan mereka dengan shalat lima waktu.” Begitupun seterusnya. Setelah itu Allah memerintahkan umat Islam untuk melakukan shalat Jumat dengan berjamaah; setelah peristiwa hijrahnya nabi kemudian memerintahkan Zakat; menambah perintah puasa satu bulan selama Ramadhan; selanjutnya ditambah jihad, setelah itu ditambah dengan perintah haji. Setelah semua perintah dan larangan itu selesai, Allah menurunkan ayat penutup tepatnya ketika Haji Wada’, yaitu: اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلامَ دِينًا (المائدة: 3) Artinya, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah aku ridlai Islam sebagai agamamu.” (QS al-Ma’idah: 3). ( ‘Abdul Qadir bin Musa bin Abdullah Al-Jailani, al-Ghunyah li Thâlibi Tharâqil Haqq, [Bairut, Dârul Ihyâ’-it Turâts al-Islâmi: 1996], juz I, halaman 290). Dari penjelasan di atas diketahui, terdapat hikmah yang sangat besar di balik diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur. Apa jadinya jika Al-Qur’an diturunkan secara langsung komplit satu paket, sedangkan umat Islam akan mengingkari atau bahkan menolaknya? Karenanya, jika dicermati, semua ini tidak lain selain sebagai rahmat bagi umat Nabi Muhammad saw. Allah tidak menginginkan umat akhir zaman, menerima perintah dan larangan-Nya secara spontan, Allah mengehendaki semua perintah dan larangan-Nya diturunkan dalam waktu yang berbeda dan dalam keadaan yang berbeda pula, sesuai dengan kebutuhan dan keadaan umat Islam. Wallâhu a’lam. Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop, Bangkalan. |